Abdullah Rasyid: Bagaimana Kita Menghadapi Pengungsi Perang Di Masa Depan?

Opini – Pada akhirnya siapapun yang menang, akhir dari perang hanyalah gelombang pengungsi. Albert Camus, seorang filsuf yang hidup pada masa Perang Dunia Kedua, pernah berkata: Siapa pun yang tertindas oleh perang harus menjadi pusat alam semesta. Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan pengungsi perang, kita harus melepaskan diri dari pertanyaan: Siapa, apa agama, ideologi, dan sebagainya. 

Rasakan konflik antara bangsa Israel-Palestina dan perang antara Iran – Israel yang terjadi saat ini akan memberikan dampak yang signifikan, meliputi aspek politik, ekonomi, politik dan geopolitik. Hampir seluruh penduduk Gaza (2,3 juta jiwa) akan mengalami pengungsian paksa. Citra satelit menunjukkan tenda-tenda pengungsi memenuhi Rafah dan daerah lainnya. Konflik kemudian meluas hingga ke Lebanon, Suriah, dan Yaman sehingga berpotensi meningkatkan risiko terjadinya Perang Regional (Wilayah Timur Tengah).

Sedangkan negara-negara yang tidak terlibat perang akan dihadapkan pada gelombang eksodus imigran yang akan terjadi di masa depan. Termasuk Indonesia yang dikenal memiliki hubungan emosional yang cukup kuat dengan Palestina. 

Jika konflik tidak diselesaikan, tekanan pengungsi Palestina bisa menyebar ke Yordania dan Lebanon, yang sudah menampung 5,7 juta pengungsi Palestina yang terdaftar di UNRWA. Negara-negara di luar zona konflik akan mengalami peningkatan permintaan suaka kemanusiaan dari para korban perang.

Tantangan utama bagi Indonesia saat ini adalah status Indonesia sebagai negara yang tidak menandatangani konvensi pengungsi, yang akan menimbulkan kritik dari dunia internasional jika tidak menolaknya secara massal. Dilema ini juga dihadapi Indonesia saat menerima pengungsi Rohonya. Di satu sisi pemerintah harus menjaga stabilitas dalam negeri, di sisi lain Indonesia bukanlah tujuan utama pengungsi. 

Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dengan mengoptimalkan kerja sama internasional; (1) Mendapatkan dukungan pendanaan dari PBB untuk memperluas kapasitas perlindungan sementara bagi imigran dan (2) mendorong negara tujuan utama (AS, Kanada, Australia) untuk mempercepat repatriasi dari Indonesia.

Sebagai negara yang tidak menandatangani konvensi pengungsi tahun 1951, Indonesia tidak memiliki kewajiban hukum terhadap pengungsi, sehingga dana PBB sangat terbatas. Namun koordinasi bersama dengan UNHCR dan IOM diselenggarakan melalui keputusan presiden no. 125 Tahun 2016 Tentang Tes Pengungsi dari Luar Negeri. Mengembangkan langkah-langkah praktis untuk mengakses dana PBB guna memperluas kapasitas perlindungan sementara bagi imigran jika memungkinkan; Identifikasi kebutuhan dan pemetaan, serta rancang proposal yang komprehensif.

Usulan pendanaan tersebut dapat digunakan terus menerus dengan satuan kerja yang belum ada, seperti UNHOM di Indonesia, dukungan dengan lembaga pedubin non-Indonesia, dan lembaga darbinas non-Indonesia melalui mekanisme lain.

Dengan menggunakan pengalaman kemanusiaan dan posisi diplomatiknya saat ini, Indonesia dapat mengakses dana yang tidak mengakses memori pengungsi dari Timur Tengah, menjaga kerja sama dalam negeri dan menanggapi komitmen kemanusiaan internasional.

Oleh : Bapak H. Abdullah Rasyid, I., Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *